Perspektif Ekologi Manusia Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam



I. Pendahuluan

Lingkungan bagi manusia merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupannya. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, lingkungan juga berperan dalam mendukung berbagai aktivitas manusia. Semua kebutuhan hidup telah tersedia sehingga upaya pemanfaatan sumberdaya oleh manusia dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Aktivitas pemanfaatan ini yang membuat terjadinya interaksi antara manusia dengan lingkungannya berlangsung terus menerus.

 

Untuk mengetahui bentuk interaksi ini kemudian berkembang pemahaman tentang ekologi manusia. Pemahaman interkasi manusia dengan lingkungannya ini berawal dari paham determinisme dimana perilaku manusia sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Namun, pemahaman ini dianggap kurang tepat karena walaupun perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan tetapi sifatnya hanya sebagai pembatas atau lingkungan berperan dalam memberikan pilihan-pilihan kepada manusia dan dengan kemampuan adaptasinya, manusia bebas memilih atau menentukan apa yang harus dilakukan terhadap lingkungannya yang kemudian dikenal sebagai pemahaman possibilisme. Pemahaman interaksi manusia dengan lingkungannya ini terus berkembang dengan berbagai macam konsepnya antara lain ekologi budaya, ecosystem based model of human ecology, actor based model of human ecology dan the system model of human ecology.

 

Konsep terakhir yang paling baik menggambarkan bagaimana hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. konsep ini dikembangkan oleh Rambo (1981) yang mengemukakan analisis hubungan timbal-balik manusia dengan lingkungannya sebagai hubungan subekosistem dan subsistem sosial. Dimana salah satunya kadang mempengaruhi dan suatu waktu dipengaruhi oleh yang lain. Keduanya saling memberikan energi, materi dan informasi. Atau kata lain, dengan latar belakang sosial ekonomi dan budaya akan mempengaruhi perilaku manusia dalam memperlakukan lingkungannya. Dan sebaliknya, karena pengaruh lingkungan bofisik sekitarnya, manusia akan melakukan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menjaga kelangsungan hidupnya sehingga akan terjadi perubahan cara hidup yang akan membentuk perilaku dan budaya yang baru.

 

II. Rumusan Masalah

Dengan melihat fenomena adanya saling keterkaitan, saling membutuhkan antara manusia dan lingkungannya tersebut, maka manusia dalam berinterkasi dengan lingkungannya akan menciptakan hubungan yang harmonis. Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan adalah “kenapa terjadi kerusakan lingkungan di bumi ini?”.

 

Pada awalnya, ketika populasi manusia masih sedikit, pemanfaatan sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan sifatnya tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan kerusakan, namun seiring bertambahnya populasi manusia sementara lngkungan dan sumberdayanya tidak bertambah (terbatas) membuat tekanan pemanfaatan sumberdaya semakin meningkat. Permasalahan tentang pertambahan populasi ini dikemukakan oleh Thomas malthus (1798). Selain pertambahan populasi, berkembangnya penggunaan teknologi untuk pemenuhan kebutuhan manusia juga memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi. Manusia dengan teknologinya cenderung eksploitatif dengan mengambil sumberdaya secara berlebihan. Melihat hal tersebut, seorang ecologist yang bernama Garrett J. Hardin (1968) mengemukakan sebuah makalah tentang The tragedy of the commons. Menurut Hardin, manusia dalam memanfaatkan sumberdaya secara bersama-sama secara bebas maka perlahan-lahan akan terjebak dalam sistem saling berlomba-lomba dalam mengeksploitasi sumberdaya alam seiring dengan meningkatnya populasi dan kebutuhan manusia. Lingkungan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan menjadi terbatas dan lambat laun tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia dan menjadi rusak maka disitulah terjadinya sebuah tragedi.

 

Pertanyaan berikutnya adalah “apakah interaksi manusia dengan lingkungannya dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam pada praktiknya akan selalu seperti apa yang diungkapkan Hardin?”. Pertumbuhan populasi dan perkembangan teknologi serta industri telah menciptakan persaingan antar manusia bahkan antar bangsa pada lingkup yang lebih luas dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber energi. Sementara itu, daya dukung lingkungan dan ketersediaan sumberdaya alam justru semakin berkurang, diperparah oleh perilaku manusia yang individualistik-materialistik akan menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan ekosistem dan berujung pada kerusakan lingkungan.

 

Di sisi lain, sebahagian masyarakat masih menjunjung tinggi adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan dalam praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya. Kelompok masyarakat ini sejak jaman dahulu melalui trial dan error memperoleh pengalaman dan membentuk intuisi dari hasil interaksi dengan lingkungannya dan secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Hardin dalam the tragedy of the commons-nya, bentuk Interaksi yang harmonis dari komunitas masyarakat dengan lingkungannya ini dianggap sebagai perwujudan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara bersama-sama yang sifatnya berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai “Common Property Resources Management”.

 

Armawi (2013) menyatakan bahwa kearifan manusia mengantarkan kita untuk memahami segala sesuatu di alam semesta ini tidak diciptakan dengan percuma. Artinya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling berhubungan (interrelasi), saling beraksi (interaksi), dan saling ketergantungan (interdependensi), sehingga sebahagian masyarakat dalam hubungannya dengan lingkungannya akan menjaga keharmonisannya sebagai bentuk rasa syukur terhadap sang pencipta. Pertanyaan terakhir, Apakah masih ada harapan pada keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan ini kedepannya?.

 

 

III. Pembahasan

Manusia selalu berusaha menyesuaikan pola hidupnya dengan kondisi lingkungannya. Perilaku manusia terhadap lingkungan ditandai dengan sikap dan kearifan tindakan terhadap alam yang terwujud dalam berbagai tradisi dan hukum adat yang dipatuhi oleh masyarakat. Kearifan lokal merupakan salah satu bentuk instrument untuk membantu dalam memahami keharmonisan antara eksistensi manusia dengan lingkungannya.

 

Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut

Sumber daya Pesisir dan laut dalam pemanfaatannya bersifat bebas akses dan terbuka untuk semua orang. Terbukanya akses tersebut seringkali mendorong penggunaan sumber daya kelautan secara berlebihan, seperti terjadinya over-fishing, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu, permasalahan lingkungan seperti kerusakan ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun), serta pencemaran juga membutuhkan perhatian. Oleh karena itu, dibutuhkan prioritas penanganan dan perubahan signifikan dalam kebijakan yang memberikan pengaruh terhadap interaksi manusia dengan lingkungan laut. Perdebatan tentang pentingnya mengatur sumber daya alam, termasuk laut, sebagai common property resource, terkait erat dengan masalah governance, pengaturan sistem sosial-ekonomi, politik, dan birokrasi yang terkait (Oktavia, 2018).

 

Pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut cenderung mengarah pada sentralisasi dan adopsi sains yang mengabaikan praktik-praktik di tingkat lokal. Praktik tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang biasa disebut kearifan lokal ini sejatinya merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak saat melakukan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya (Widarmanto, 2018)

 

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebagai “common property reosurces” yang berbasis kearifan lokal dapat ditemui di sebagian besar wilayah di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah panglima laot di Aceh. Panglima laot sendiri bertugas memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan adat laut; mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut; menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya; mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laut; dan merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah (Puspita, 2017). Di Sulawesi utara, dikenal istilah Eha laut dan mane’e. Eha adalah aturan pengelolaan panen tanaman baik dari laut dan darat. Mane’e adalah upacara panen ikan menggunakan tali sammi setelah periode satu tahun Eha Laut. Kedua tradisi telah dilakukan sejak zaman dahulu sebagai upaya untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dan orang membiasakan untuk hidup bersama (Khoirunnisak dan Satria, 2016). Di Muncar, Banyuwangi ada kearifan lokal yang disebut Petik laut. Petik laut merupakan sebuah ungkapan rasa syukur masyarakat nelayan Muncar atas rezeki dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan melalui alam, khususnya laut. Ritual petik laut diselenggarakan sekali setiap tahun pada awal bulan Muharam atau bulan Syuro oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai (Setiawan, 2016). Di Lombok timur, ada awik-awik. Awik-awik pada dasarnya merupakan kebijakan lokal berupa norma, hukum adat, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat seperti perkawinan, pencurian dan lain sebagainya. Namun, awik-awik ini diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai (Indrawasih (2008) dalam Ayunda dan Anna, 2015). Sementara di Indonesia bagian timur, khususnya di Maluku dan Papua, kearifan lokal yang ada dikenal dengan istilah sasi.

 

Setiap bentuk kearifan lokal tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada dapat dirasakan manfaatkan oleh setiap masyarakat dalam komunitasnya dan dapat terus lestari dan berkelanjutan bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, Implementasi kearifan lokal terbukti mampu menggiring masyarakat pada suatu sikap yang konsisten, yakni konsistensi dalam penegakan aturan main yang tidak pandang bulu, serta pada kemauan mereka bersikap transparan dalam semua tahapan pengelolaan. Keterbukaan atau transparansi dalam pengelolaan ini menjadi pijakan kuat bagi terbangunnya sikap saling percaya di antara warga komunitas. Sikap saling percaya itu menjadi semacam perekat untuk menyatukan sesuatu yang ideasional (institusi pengelolaan) dengan yang faktual (partisipasi warga komunitas) dalam konteks pengelolaan (Widarmanto, 2018).

 

 

Strategi Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat

Dengan melihat kondisi tersebut, maka proses pengelolaan sumberdaya ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat, kebudayaan serta unsur-unsur fisik di masing-masing wilayah. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat. Yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Model pengelolaan ini dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat atau community based management (CBM).

 

Carter (1996) dalam Wahyudin (2015) mendefinisikan .Community-Based Management (CBM) sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi yang ada dalam masyarakat di daerah tersebut. Pada sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya (Commons Property), di mana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Agar dapat tetap bersinergi dengan perencanaan pembangunan yang telah disusun oleh pemerintah, maka model pengelolaan berbasis masyarakat ini tetap harus mendapat pembinaan, monitoring dan pengawasan dari pemerintah baik daerah maupun pusat (Co-Management).

 

Mengapa pendekatan berbasis masyarakat ini dianggap efektif, karena ada beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat dan lokal antara lain (Widarmanto, 2018) :

 

  1. Ketergantungan manusia terhadap alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan di mana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya.
  2. Penguasaan atas wilayah tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (petuanan, ulayat, tanah marga), sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar.
  3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
  4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas.
  5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.

 

Konsep pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat ataupun mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal sudah mulai diterapkan saat ini. contohnya perhutanan sosial. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan huntan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hokum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan (P.83/MENLHK/KUM.1/10/2016).

 

Di wilayah pesisir dan laut, beberapa pengelolaan kawasan konservasi perairan telah mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal seperti adanya alokasi ruang untuk zona suci di KKPD Nusa Penida dan sub-zona sasi dan perikanan tradisonal di KKPD Raja Ampat. Selain itu, adanya pengakuan Wilayah Masyarakat Hukum Adat melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 8 tahun 2018, menyebutkan wilayah kelola merupakan ruang perairan yang sumber daya lautnya dimanfaatkan oleh Masyarakat Hukum Adat dan menjadi wilayah pertuanan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini merupakan upaya penglibatan secara nyata masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya.

 

Dengan penerapan model pengelolaan berbasis masyarakat telah merubah paradigma pengelolaan yang sifatnya sentralistik, hierarkis dan birokratis menjadi paradigma yang dinamis, majemuk dan sistemik dengan pola pemikiran yang ekologis-holistik (Armawi, 2013). Dan diharapkan juga model pengelolaan ini dapat memberikan hasil yang cukup efektif dan efisien khususnya efisiensi pengelolaan, mereduksi konflik antar masyarakat, dan keberlanjutan sumber daya alam dimana tingkat partisipasi, kemampuan komunitas, dan konsistensi masyarakat menjadi faktor yang berperan penting agar dalam implementasinya bisa berhasil secara efektif dan efisien.

 

IV. Kesimpulan

 Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Lingkungan tidak hanya sebagai tempat tinggal, namun juga berperan dalam mendukung berbagai aktivitas manusia. Hal ini yang membuat terjadinya interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang berlangsung terus menerus.
  2. konsep interaksi manusia dengan lingkungannya terus berkembang hingga pada pemahaman bahwa hubungan timbal-balik manusia dengan lingkungannya sebagai hubungan subekosistem dan subsistem sosial. Dimana salah satunya kadang mempengaruhi dan suatu waktu dipengaruhi oleh yang lain. Keduanya saling memberikan energi, materi dan informasi (the system model of human ecology).
  3. Pada dasarnya interaksi manusia dengan lingkungannya akan menciptakan hubungan yang harmonis, namun pertumbuan populasi, perkembangan tekologi dan industri meningkatkan persaingan antar manusia untuk mengakses sumberdaya alam dan lingkungannya, sementara ketersediannya yang terbatas akan memicu degradasi dan kerusakan sehingga menjadi sebuah tragedi (the tragedy of the commons).
  4. Kearifan manusia memahami makna yang sangat dalam bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling berhubungan (interrelasi), saling beraksi (interaksi), dan saling ketergantungan (interdependensi) sehingga pada sebahagian komunitas masyarakat di suatu wilayah akan secara sadar mengelola dan menjaga keberlangsungan sumberdaya alam dan lingkungannya (Common Property Resources Management) agar dapat terus memberikan manfaat.
  5. Proses pengelolaan sumberdaya ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Model pengelolaan ini dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat atau community based management (CBM).

 

 

 

V. Daftar Pustaka

Armawi, Armaidy. 2013. Kajian Filosofis Terhadap Pemikiran Human- Ekologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam (Philosophical Studies of Human Ecology Thinking on Natual Resource Use). Jurnal Manusia Dan Lingkungan Vol. 20, No. 1.

Ayunda, Nisa dan Anna, Zuzy2015Evaluasi Awik-Awik Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Lombok Timur. J. Kebijakan Sosek KP Vol. 5 No. 1.

Khoirunnisak dan Satria, Arif. 2016. Analisis Kelembagaan dan Keberlanjutan Eha Laut dan Mane’e sebagai Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat . Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan |hal 23-37.

Oktavia, Putu. 2018. Evolusi Dan Tantangan Governance untuk Common Property Resource. Planners InSight, Volume 1, No. 1, Februari 2018 | ISSN 2615-7055.

Puspita, Maya. (2017). Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut Hukum Adat Laot Dan Lembaga Panglima Laot Di Nanggroe Aceh Darussalam. Sabda : Jurnal Kajian Kebudayaan. 3. 10.14710/sabda.v3i2.13253

Setiawan, Eko. 2016. Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum. Vol. 10 No. 2| 229-237

Widarmanto, Nanang. 2018. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628.

Wahyudin, Yudi. 2015. "Community Based Management (CBM)/Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM)". 10.13140/RG.2.1.2850.3766.


 


 

Postingan populer dari blog ini

Standar untuk Kepastian Usaha dan Kelestarian Sumber Daya Alam

Sumber Daya Alam dan Lingkungan